A. PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Pesantren lahir bersamaan pada proses Islamisasi yang terjadi di Indonesia pada abad ke-delapan dan sembilan Masehi dan terus berkembang hingga saat ini, ketahanan yang dilakukan oleh Pesantren sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan sebagai suatu sistem pendidikan, pesantren menjadi lembaga pendidikan alternatif masa kini dan masa depan.
Sejak berdirinya, Pesantren memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat, kebanyakan Pesantren memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh fid din) namunkemudian Pesantren mengalami pergeseran paradigma ketika Pesantren mereposisi dalam upaya merespon perkembangan kehidupan masyarakat. Pergeseran paradigma ini berimplikasi pada terjadinya perubahan perspektif dan orientasi, Pondok Pesantren hendaknya diarahkan pada duafungsi :
Pertama : Sebagai pusat pengkaderan dan pencetak pemikir agama/ulama (center of excellence).
Kedua : Sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
Pesantren ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula ikut serta memberikan sembangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam telah banyak melahirkan ulama, tokoh masyarakat, mubaligh, guru agama yang sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pesantren tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Dalam praktiknya pesantren khususnya ketika dihadapkan pada tradisinya secara kategoris dibedakan menjadi dua :
a. Pesantren Salafi, dan
b. Pesantren Khalafi.
Pesantren, merupakan sistem pendidikan tertua selama ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indidenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang di mulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara sekitar abad 13.
Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang berstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khsusunya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dan pada masa-masa mendatang, diharapkan pondok pesantren dapat tetap dinamis, menyeseaikan zaman, tetap memberi materi dan melestarikan identitas keislaman secara kaffah.
B. DEFINISI
Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus-menerus ada dalam kelompok itu, oleh karena itu kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, dinamika merupakan sesuatu tentang benda-benda bergerak,atau sesuatu yang bergerak.
Sedangkan Pesantren, pondok pesantren, atau disebut pondok saja, adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia. Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentangagama Islam, al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab. Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri), mereka belajar di sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Institusi sejenis juga terdapat di negara-negara lainnya. Sedangkan menurut KH. Drs. Muhammad Rifa'iIdris, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama dan penagajaran ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu.
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arabfunduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Karena keberadaannya dimulai sejak Islam masuk negeri ini. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern-pun biasanya lebih murah.
C. MENGENAL PESANTREN DARI DEKAT
1. Sejarah Pesantren
Menurut K.H. Drs. M. Rifa’i Pondok Peantren adalah suatu lembaga pendidikan agama dan pengajaran ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sedangkan menurut mochtar Buchori pesantren merupakan bagian dari struktur internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Dalam definisi lain pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Meski mayoritas peneliti sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia, namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat proses lahirnya pesantren tersebut. Antara lain.
Pertama, Menurut Th. G. Th. Pigeaud, dan Nurcholis Majid, dan lain-lain mereka menyatakan bahwa pesantren merupakan hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khasanah lembaga pendidikan pra Islam. Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independent yang pada awalnya mengisolasi diri disebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan. Secara lebih spesifik, dinyatakan bahwa pesantren mempunyai kesinambungan dari lembaga keagamaan pra Islam disebabkan adanya beberapa kesamaan antara keduanya, Misalnya :
a. Letak dan posisi keduanya yang cenderung mengisolasi diri dari pusat keramaian.
b. Adanya ikatan “Kebapakan” antara guru dan murid sebagai ditunjukkan kyai dan santri.
c. Kebiasaan ber’uzlah (berkelana) guna melakukan pencarian ruhani dari tempat ke tempat lainnya.
Beberapa faktor inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan untuk berkesimpulan bahwa pesantren merupakan suatu bentuk Indegineous Culture yang muncul bersama waktunya dengan penyebaran misi dakwah Islam di Kepulauan Nusantara.
Kedua, menurut Martin Van Bruinessen, Abdur Rahman Mas’ud, dan lain-lain menyatakan bahwa pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Kelompok ini meragukan kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa lembaga mandala dan asrama yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana di pesantren. Pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al-Azhar dengan sistem model sistem pendidikan pada akhir abad ke 18 M.
Pesantren merupakan kombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarekat, bukan antara Islam dengan Hindu.
Alwi Syihab pernah menyatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya, agar para santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung dimasyarakat luas. Islam pun berkembang pesat, khususnya didaerah-daerah pesisir yang kebetulan menjadi pusat-pusat perdagangan antara daerah bahkan antar Negara. Bahkan dari hasil penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan cikal bakal pendirian pesantren pada periode awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai antara Jawa seperti Giri (Gresik), Ampel (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, umat Islam bergerak masuk kedaerah-daerah perdalaman. Kemudian para guru agama atau Kyai membangun padepokan baru sebagai pusat pengajian para santri dan menyiarkan Islam keseluruh pelosok Negeri.
2. Ciri-Ciri Umum Pembelajaran Pesantren
Menurut KH. Drs. M. Rifa’I ciri-ciri pondok pesantren adalah :
a. Adanya kyai
b. Adanya santri
c. Adanya masjid dan tempat shalat
d. Adanya madrasah atau tempat menuntut ilmu
e. Adanya pondok atau tempat bermalam
Sedangkan menurut Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul“beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini” menyatakan bahwa ciri-ciri pesantren (pendidikan tradisional) adalah:
a. Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri
b. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai
c. Pola hidup sederhana (zuhud)
d. Kemandirian adalah independensi
e. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong menolong dan suasana persaudaraan.
f. Disiplin ketat.
g. Berani menderita untuk mencapai tujuan
h. Kehidupan dengan tingkat relegius yang tinggi.
Senada dengan Mukti Ali, Alasyah Ratu Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas terdapat dalam pesantren, yaitu :
a. Independent
b. Kepemimpinan tunggal
c. Kebrsamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan
d. Kegotongroyongan
e. Motivasi yang terarah dan pada umumna mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.
3. Sistem Pendidikan atau Metode Pengajaran
Pada beberapa sistem pendidikan atau metode pengajaran yangditerapkan dalam pesantren walaupun tidak semua diterapkan, antara lain:
a. Halaqah
Berarti lingkaran murid atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbinga seorang ustadz dalam satu tempat. Halaqoh ini juga merupakan sebutan bagi situasi dan kondisi selama berlangsungnya metode bandongan, di mana sekelompok santri berkumpul untuk belajar di bawah bimbingan seorang kyai.
b. Sorogan
Merupakan metode pengajaran individu yang dilaksanakan di Pesantren. Dalam aplikasinya metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu : Pertama, bagi santri pemula mereka mendatangi seorang ustadz atau kyai yang akan membacakan kitab tertentu. Kedua, santri senior mendatangi seorang ustadz atau kyai yang akan membacakan kitab tertentu supaya sang ustadz atau kyai tersebut mendengarkan sekaligus memberi koreksi terhadap bacaan mereka.
c. Bandongan atau Wetonan
Adalah metode pengajaran kolektif dimana santri secara bersama-sama mendengarkan seorang ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa arab tertentu.
d. Hafalan aau Tahfizh
Hafalan pada umumnya diterapkan pada Al-Qur’an atau pada mata pelajaran yang bersifat nadhom (syair), bukan natsar (prosa), dan itupun pada umumnya terbatas pada ilmu kaidah bahasa arab, seperti : Nadhom Al-Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Al-Amtsilah, Al-Tashrifiyah, Al-Kailani, Taqrib, dan sebagainya yang dijadikan sebagai bahan hafalan melalui sistem pengajaran hafalan. Dalam metode ini biasanya santri diberi tugas untuk menghafalkan beberapa bait atau baris dari sebuah kitab, untuk kemudian dibacaka di depan sang kyai atau ustadz. Dalam aplikasinya, metode ini biasanya diterapkan dengan dua cara yaitu :
1) Pada setiap kali tatap muka, setiap santri diharuskan membacakan tugas-tugas hafalannya dihadapan kyai atau ustadz. Jika ia hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjutkan tugas hafalan berikutnya, sebaliknya, jika belum berhasil, ia diharuskan mengulang lagi sampai lancar untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan datang
2) Seorang kyai/ustadz menugaskan santrinya untuk mengucapkan bagian tertentu dari hafalan yang telah ditugaskan kepada mereka, atau melanjutkan kalimat atau lafadz yang telah diucapkan oleh gurunya.
e. Hiwar atau Musyawarah
Dalam pemahamannya, metode ini hampir sama dengan metode diskusi-diskusi yang umumnya dikenal. Sistem musyawarah antar pesantren lainnya terkadang berbeda, terkadang dalam pelaksanaannya para santri melakukankegiatan belajar secara kelompok atau perkelas untuk membahas materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai/ustadz. Kemudian, mereka membagi dalam tiga sub bagian. Yaitu pertama, ma’na (arti) yaitu arti dari kata-perkata/mufradat.kedua, Nahwu (tata bahasa) misalnya kenapa dibaca Rofa’ atau yang lain atau kenapa bacaan tersebut disebut mubtada’ dan Khabar. ketiga, Murad yaitu inti atau topik yang sedang dibahas.
f. Muqoronah
Adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan pertandingan materi, paham (madzhab), metode maupun perbandingan kitab. Oleh karena, sifatnya yang membandingkan, pada umumnya metode ini hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior (ma’had aly). Dan dalam perkembangannya metode ini kemudian terfragmentasi ke dalam untuk perbandingan paham atau aliran.
g. Muhawarah atau Muhadatsah
Muhawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Arab. Metode inilah yang kemudian dalam pesantren “Modern” dikenal sebagai metode “Hiwar”. Dalam aplikasinya, metode ini diterapkan dengan menggunakan bahasa arab. Adakalanya hal demikian diterapkan bagi santri selama mereka berada di pesantren dan adakalanya hanya pada jam-jam tertentu saja. Dalam kegiatan pembelajarannya, metode ini pada umumnya dilakukan melalui alternatif cara, sebagai berikut :
1) Para santri diberikan buku panduan yang berisi daftar kosakata dalam bahasa Arab, contoh-contoh percakapan, serta aturan-aturan lainnya.
2) Mereka diwajibkan untuk menghafal sejumlah kosa kata dari dari buku panduan tersebut, dan biasanya diberikan target harian.
3) Kegiatan pembelajaran dilakukan secara kelompok atau klasikal dengan dipandu oleh seorang ustadz berdasarkan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya secara rutin.
4) Ustadz melakukan tanya jawab dengan para santri dengan menggunakan bahasa Arab atau ustadz memerintahkan dua santri atau lebih untuk memperagakan tanya jawab dihadapan teman-temannya secara bergiliran.
5) Pada pesantren yang menjadikan bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai alat komunikasi sehari-hari latihan percakapan tidak hanya dilakukan di kelas dalam waktu tertentu saja, tapi juga dilakukan di mana saja, kapan saja mereka berada di dalam lingkungan pesantren.
6) Untuk meningkatkan mati rasa santri, pesantren biasanya menciptakan sebuah lingkungan bahasa yaitu dengan memberikan nama-nama benda dan tempat di lingkungan pesantren dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris.
Itulah macam-macam sistem pendidikan atau metode pengajaran di dunia pesantren. Selain hal-hal di atas salah satu keunikan dari pola pendidikan yang dilaksanakan pesantren adalah tujuan pendidikannya yang tidak semata-mata berorientasimemperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan humanistik, mengajarkan kejujuran (honesty), serta mengajarkan santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren bukannya untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi lebih kepada penanaman bahwa belajar merupakan kewajiban dan bentuk pengabdian (ibadah kepada Allah). Secara lebih rinci, pola pendidikan pesantren meliputi dua aspek.
a. Pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode, dan bahkan literatur yang bersifat tradisional baik dalam bentuk pendidikan formal seperti madrasah. Adapun yang menjadi ciri utama dari pendidikan dan pengajaran tradisional adalah stressing pengajaran lebih kepada pemahaman tekstual (letterlijk dan Harfiyah), pendekatan yang digunakan lebih berorientasi pada penyelesaian pembacaan terhadap sebua kitab atau buku untuk kemudian beralih kepada kitab berikutnya, dan kurikulumnya tidak bersifat klasikal (tidak berdasarkan pada unit mata pelajaran), meskipun kegiatan belajar dan mengajar sudah dilakukan dengan menggunakan sistem madrasah.
b. Pola umum pendidikan pesantren selalu memelihara Sub Kultur(tata nilai) pesantren yang berdiri di atas landasan ukhrowi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukanmutlak kepada para ulama’, mengutamakan ibadah sebagai wujud pengabdian, serta memuliakan ustadz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Dari pola umum inilah kemudian muncul kecenderungan untuk bertirakat demi mencapai keluhuran jiwa, ikhlas dalam melaksanakan apa saja yang menjadi kepentingan ustadz dan kyai, dan bahkan sampai pada titik yang disebut sebagai loyalitas keIslaman yang mengabaikan penerapan ukuran-ukuran duniawi dalam menjalani kehidupan sebagai seorang santri, kemudian sebagai ciri utama, pola pendidikan pesantren yang memiliki kelebihan, antara lain:
1) Mampu menanamkan sikap hidup universal secara merata dengan tata nilai (sub-kultur) sebagaimana dijelaskan di atas.
2) Mampu memelihara tata nilai (sub kultur) pesantren hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan disepanjang perjalanan kehidupan santri.
4. Elemen-elemen Pesantren
Lahirnya suatu peantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada didalamnya, ada lima elemen pesantren, yaitu : kyai, santri, pondok, masjid, dan pengajian kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut kitab kuning.
Namun dalam perkembangan dan kemajuan peradaban telah mendorong pesantren untuk mengadopsi ragam elemen. Misalnya menegaskan bahwa sistem pendidikan pesantren harus memiliki infrastruktur maupun suprastruktur penunjang. Infrastruktur dapat meliputi perangkat lunak (sofware), seperti kurikulum, metode pembelajaran, dan perangkat keras (Hardware), seperti bangunan pondok, masjid, sarana dan prasarana belajar (laboratorium, komputer, perpustakaan, tempat praktek, dan lain-ain). Sedangkan suprastruktur pesantren meliputi yayasan, kyai, santri, ustadz, pengasuh dan para pengurus.
Dengan kata lain, perangkat pesantren meliputi aktor atau pelaku seperti kyai, santri, dan sebagainya. Perangkat keras pesantren seperti masjid, pondok, asrama, rumah kyai, dan sebagainya. Serta perangkat lunak seperti tujuan, kurikulum, metode pengajaran, evaluasi dan alat-alat penunjang pendidikan lainnya.
Namun, supaya tidak terjebak pada pengklasifikasikan sebagaimana di atas, beberapa sub bahasan di bawah ini hanya akan membicarakan elemen pada umumnya, yaitu :
a. Kyai
Kyai adalah seorang yang menuntut ilmu karena Allah dan mengamalkannya juga karena Allah atau Ikhlas. Menurut asal mulanya perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untukdua jenis gelar yang berbeda.
Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai garuda kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta.
Kedua, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang terkadang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren.
Kyai dalam pembahasan ini mengacu pada pengertian kedua, yakni gelar yang diberikan kepada para pemimpin adama Islam atau pondok pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “Ajengan”, di Aceh dengan “Teuku”, sedangkan di Sumatera Utara dinamakan “Buya”.
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat dilingkungan pesantren. Disamping itu, kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karena itu, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya sangat bergantung pada peran seorang kyai.
Dalam perkembangannya, gelar kyai tidak lagi menjadi monopoli bagi para pemimpin atau pengasuh pesantren. Gelar kyai ini juga dianugerahkan sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama’ yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren. Dengan kata lain, bahwa gelar kyai tetap dipakai bagi seorang ulama’ yang mempunyai ikatan primordial dengan kelompok Islam tradisional. Bahkan juga dipakai untuk da’i atau mubaligh.
Sejak Islam tersebar dipelosok Jawa, terutama sejak abad 13 dan 14 Masehi, para kyai memperoleh sosial yang tinggi. Kyai memperlihatkan daya tawar yang tinggi, walaupun sebagian kyai tinggal di desa jauh dari pusat kekuasaan dan pemerintah, namun mereka merupakan bagian dari kelompok elit masyarakat yang disegani sekaligus berpengaruh baik secara politik, ekonomi mapun sosial budaya. Kyai di pesantren dianggap sebagai figur sentral yang diibaratkan kerajaan kecil yang mempunyai wewenang dan otoritas mutlak (power and autority) di lingkungan pesantren. Tidak seorangpun santri atau orang lain yang berani yang berani melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar dan besar pengaruhnya.
Peran penting kyai terus signifikan, kyai dianggap memiliki pengaruh sosial dan politik, karena memiliki ribuan santri yang taat dan patuh serta mempunyai ikatan primordial (pation) dengan lingkungan masayarakat sekitarnya. Dengan kelebihan ini banyak kyai dan pesantren sering dilibatkan dalam momen-momen politik, baik ketika pemilu maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sedikit pula kyai yang duduk sebagai pejabat Eksekutif maupun anggota Legislatif.
b. Pondok
Pesantren dimana seluruh santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Asrama para santri tersebut berada di lingkungan komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal kyai, masjid, ruang untuk mengaji, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lainnya.
Berikut beberapa alasan mengapa pesantren harus menyediakan pondok (asrama) seperti :
1) Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Sehingga untuk keperluan itulah seorang santri harus menetap.
2) Dahulu banyak pesantren berada di desa-desa terpencil jauh dari keramaian, dengan demikian diperlukan pondok khusus. Dan hal ini berlanjut hingga sekarang.
3) Adanya timbal balik dari santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memerlukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Manfaat beberapa alasan di atas, kedudukan pondok juga besar manfaatnya. Dengan sistem pondok santri dapat konsentrasi belajar sepanjang hari. Kehidupan dengan model pondok atau asrama juga sangat mendukung bagi proses pembentukan kepribadian santri baik dalam tata cara bergaul dan bermasyarakat dengan sesama santri lainnya. Pelajaran diperoleh di kelas dapat sekaligus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-haridi lingkungan pesantren. Di luar semua telah disebutkan di atas ada khas ciri-ciri pondok, yaitu adanya pemisahan antara tempat tinggal santri laki-laki dengan perempuan. Sekat pemisah itu biasanya berupa rumah kyai dan keluarga, masjid, atau ruang kelas.
c. Masjid
Masjid adalah tempat ibadahnya umat Islam sekaligus sebagai pusat aktifitas dakwah dan pendidikan umat Islam. Secara etimologis masjid berasal dari bahasa Arab “Sajada” yang artinya patuh, taat serta tunduk dengan penuh hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren yang pertama-tama menjadi prioritas adalah masjid. Masjid dianggap sebagai simbol yang tidak terpisahkan dari pesantren. Masjid tidak hanya sebagai tempat praktek ritual ibadah, tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab klasik dan aktifitas lainnya.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya telah terjadi proses kesinambungan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim berada, masjid menjadi pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan adminstrasi dan kultural. Bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling representatif untuk menyelenggarakan pendidikan adalah suatu kontinuitas, ketika pengenalan pengajaran al-Qur’an baik melalui TPA ataupun TPQ dilaksanakan di masjid-masjid. Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan Islam berdampak pada tiga hal, yaitu :
1) Mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat kepada Allah.
2) Menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi sehingga bisa menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia.
3) Memberikan ketentraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian dan semangat hidup dalam beragama.
Walaupun sekarang model pendidikan dipesantren mulai dialihkan dikelas-kelas, bukan berarti masjid kehilangan fungsinya. Para kyai masih setia menyelenggarakan pengajaran di masjid.
d. Santri
Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Pada umumnya santri terbagi dua kategori yaitu :
1) Santri Mukim
Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan kelompok yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri junior tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Terkadang dalam sebuah pesantren terdapat santri yang merupakan putra-putri kyai dari pesantren lain yang juga belajar disana. Mereka biasa memperoleh perlakuan istimewa dari kyai, santri-santri berdarah kyai inilah yang nantinya diharapkan menggantikan ayahnya dalam mengasuh pesantren asalnya.
2) Santri Kalong
Yaitu para siswa yang berasal dari desa disekitar pesantren. Mereka bolak-balik (Nglajo) dari rumahnya sendiri.
Seorang santri lebih memilih menetap di suatu pesantren karena :
Pertama, berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih dalam
Kedua, berkeinginan memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren lain.
Ketiga, berkeinginan memusatkan perhatian pada studi pesantren tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah, walaupun sebenarnya santri ingin di rumah.
e. Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-ktab klasik, khususnya berbahasa Arab dan tanpa kharakat atau sering disebut kitab gundul, merupakan metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia.
Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, khalaf, modern, pondok takhasus al-Qur’andan boleh jadi lembaga pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren sangat bersifat personal.
Keseluruhan kitab-kitab klasik diajarkan di pesantren dapat digolongkan dalam beberapakelompok, seperti:
1) Al-Qur’an dan Tafsirnya
2) Nahwu (Sintaksis)
3) Shorof (morfologi)
4) Fiqih
5) Ushul fiqh
6) Hadits
7) Tauhid
8) Tasawuf dan etika
9) Cabang-cabang lain seperti balaghoh, Falak, dan sebagainya.
Dari kitab-kitab di atas dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok; kitab-kitab dasar, kitab-kitab menengah dan kitab-kitab besar. Secara umum kitab yang diajarkan pesantren adalah sama jenisnya. Misalnya, kitab-kitab Fiqih sepertiSullam Taufiq, Fathul qarib hingga Fathul Mu’in. Kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan dikalangan santri. Dalam kajian kitab klasik tidak sekedar membaca teks secara hitam putih, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan atau penjelasan baik isi maupun bahasa.
D. PONDOK PESANTREN DAHULU
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya yang diberi nama Ampel Denta dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Pesantren Ampel Denta merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri yang telah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan dari pesantren.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas.
Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikannya tidak tentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Sejarah mencatat, pada masa lampau pesantren pernah menjadi tumpuan utama bagi masyarakatnya dan dalam perkembangannya senantiasa seirama dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada masanya.
E. PESANTREN KINI
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor dan beberapa pesantren lain antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: Dalam penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, memperluas kebahasaan, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya, lebih terbuka pada hal-hal ‘ke-kinian’, dan lain-lain. Oleh karena itu beberapa pesantren mempunyai beberapa prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas, serta memiliki keseimbangan hidup dunia dan akhirat (hatinya Masjidil Haram, tetapi berotak London).
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan pesantren-pesantren pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni pesantren di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka pesantren masa kini telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini.
Pembaharuan di Bidang Furu’
Yang dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa perubahan pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang berkiblat atau mengikuti Gontor, Darul Ulum, maupun pesantren modern lain. Seperti perubahan kurukulum dan aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya beberapa kelemahan yang ditemukan pada pesantren yang menjadi’kiblat’. Atau karena adanya kebutuhan masyarakat di mana pesantren itu berada. Untuk mengisi kekurangan di bidang penguasaan kitab kuning umpamanya, beberapa pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, baik pada jam pelajarannya maupun di luar waktu sekolah, seperti halnya yang dilakukan Pondok Pesantren Al-Muhammad Cepu.
Sistem kombinasi (perpaduan) mazdhab Modern dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah tumbuhnya pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning masih ada yang menggunakan bahasa jawa sebagai pengantar, namun ada pula yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang ditemukan pada pesantren Salaf, meskipun demikian metode pembacaannya (secara nahwu) masih mengikuti mazdhab Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada kedudukan mubtada dan khobar.
Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti sylabus Depag atau Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang ‘kepesantrenan’ (berkurikulum pesantren) dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi. Atau paling tidak beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi. Sehingga bobot ‘pesantren’nya sedikit berkurang. Namun demikian, langkah ini membantu para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena adanya ijazah negeri.
Bentuk terakhir ini didapatkan pada hampir seluruh pesantren sekarang pada umumnya.
Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan
Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi Islam (seperti IAIN, STAI, dan sebagainya) dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.
Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Hal ini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak.
Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.
Lebih ironi lagi, jika pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk perguruan tinggi. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri. Akibatnya perguruan tinggi seperti STAI, maupun IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.
Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat. Sehingga saat ini pada beberapa pondok pesantren dengan ijasah (intern) mereka, para alumninya dapat melanjutkan perkuliahan. Misalnya pondok pesantren Al-Anwar Sarang-Rembang.
Dengan demikian diharapkan alumni pondok pesantren berkualitas dan mendapat formalitas. mereka mendapat gelar dan juga di akui ‘kependidikannya’ baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas. Sehingga diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama’ yang intelek, pemikir keislaman yang handal, selalu dinamis, tidak jumud, dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
F. PESANTREN DI MASA DATANG
1. Peran dan Potensi Pesantren dalam Menghadapi Masa Depan
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis, apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan tinggi. Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, terutama masyarakat perdesaan, merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera.
Menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan baik di bidang ekonomi maupun sosial budaya,diperluhkan pengkajian bagaimana pondok pesantren mengapresiasikan gejala modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya seperti sekarang ini. Modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, dan karena itu semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya dan perlu menanggapi gejala-gejalanya secara terbuka dan kritis.
Sebagaimana diketahui, pesantren di tengah-tengah kehidupan masyarakat memiliki latar belakang sejarah. Pesantren merupakan representasi institusi ke-Islaman yang berakar kuat dalam tradisi dan kebudayaan masyarakat, bahkan pesantren menjadi basis perjuangan melawan penjajah kolonial. Tidak terhitung betapa banyak para syuhada dari pesantren yang gugur dalam berjuang melawan penjajah.
Dalam perjalanan sejarahnya pola kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan yang terbentuk di lingkungan pesantren menjelma menjadi sebuah pola yang khas. Dan dalam kekhasan itu pesantren telah berkembang menjadi sebuah subkultur tersendiri yang memiliki dasar-dasar nilai dan tradisi yang berakar kuat dalam komunitasnya.
Dasar-dasar tradisi dan nilai budaya itu, menjadikan pesantren memiliki kekuatan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Tidak heran jika pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing.
Inilah makna penting keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang dipelihara secara kukuh, yang membentuk pola hubungan fungsional yang unik antara keduanya. Interaksi sosial budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya itu terlihat dalam hal pendidikan, dakwah keagamaan, kegiatan sosial, bahkan kegiatan ekonomi.
Namun, karena banyak memperlihatkan budaya tradisional itu pesantren acapkali dianggap sebagai penghalang bagi pembaharuan. Oleh karena itu, pada banyak kalangan masyarakat terkesan suasana keterbelakangan dari pesantren, yang tidak sedikit juga dipengaruhi literatur Barat dengan istilah “kaum sarungan” yang dianggap mencerminkan ketradisionalan.
Sekarang keadaan telah mulai berubah. Pendidikan di lingkungan pesantren telah menampung kurikulum pengetahuan yang tidak kurang dari lembaga pendidikan nonpesantren dan sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren telah memberikan pendidikan keagamaan yang lebih intensif.
Antara keduanya jelas akan terus ada perbedaan karena bobot pendidikan keagamaan akan tetap mewarnai pendidikan di lingkungan pesantren, Artinya, melalui proses itu diharapkan dihasilkan SDM yang berkualitas, yakni tidak hanya memiliki pengetahuan untuk menempuh kehidupan di dunia dengan baik, sesuai dengan tanggung jawab pribadi dan kemasyarakatan seseorang, tetapi juga akan menghasilkan SDM yang memiliki keyakinan iman dan ketakwaan, yang memberikan tuntunan moral.Dengan demikian, SDM tersebut dalam menempuh kehidupannya memiliki nilai-nilai spiritual dan budi pekerti yang menjadi pedoman, dan bukan hanya nilai-nilai material. Kualitas SDM serupa itulah yang disebut sebagai kualitas manusia yang lengkap.
Oleh karena eratnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya, apabila ingin memperkenalkan suatu norma atau cara baru di lingkungan masyarakat yang terkait dengan tradisi pesantren, akan lebih mudah apabila norma atau cara baru itu diperkenalkan melalui pesantrennya, yang kemudian akan mensosialisasikannya dengan cara yang mungkin lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan jika dilakukan oleh pemerintah. Misalnya, pengalaman dalam memperkenalkan program keluarga berencana, yang merupakan konsep kehidupan keluarga modern, menunjukkan betapa efektifnya peran pesantren.
Dengan demikian, pesantren secara potensial adalah agen modernisasi bagi masyarakatnya, karenanya sebagian pesantren itu sendiri masih harus dimodernkan. Modernisasi dalam arti suatu proses penanaman nilai-nilai kehidupan yang ilmu pengetahuan dan teknologi berperan besar di dalamnya. Menanamkan nilai-nilai modern agar bisa menjadi pelopor modernisasi ini merupakan pekerjaan besar bagi pesantren. Hal ini pasti tidak akan mudah. Peran para pemimpin pesanten, dalam hal ini para Kiyainya sangat menentukan, karena kita ketahui Kiyai bukanlah seorang pemimpin biasa, bukan hanya kepala sekolah, atau kepala asrama, bukan juga cuma pemimpin organisasi. Peran kepemimpinan Kiyai lebih luas dan lebih dalam daripada itu.
Kekhasan ini tentu akan tetap memberi warna kepada pesantren, dan tantangannya adalah bagaimana faktor kepemimpinan tradisional dan karismatis itu, yang merupakan ciri dan kekuatan pesantren, dapat dipadukan dengan kepemimpinan modern, yang nilai utamanya adalah rasionalitas. proses persenyawaan itu dapat terjadi dengan baik, karena sesungguhnya di waktu yang lalu pada awal perkembangannya pesantren adalah lembaga yang paling modern di dalam masyarakat. Bisa dikatakan pesantrenlah yang membawa pembaharuan ke dalam masyarakatnya, karena Islam pada dasarnya adalah agama pembaharuan. Dari dunia Islam pula lahir dan berkembang banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang turunannya kita kenal sekarang.
Kemudian pada suatu masa kejayaan ini menurun, bukan oleh karena ajaran agamanya, melainkan oleh karena umatnya, yang di mana-mana menutup diri terhadap interaksi dengan budaya lain dan terhadap gagasan-gagasan baru. Padahal sebelumnya masyarakat Islam adalah masyarakat yang sangat antusias menyerap segala pengetahuan yang dapat diserap dan mengakomodasikan kebudayaan mana pun, termasuk yang sumbernya adalah agama lain.
Oleh karena itu, kembali membuat pesantren menjadi lembaga pembaharuan, agen modernisasi bagi masyarakat mestinya bukan persoalan besar, jika pesantren itu sendiri telah dapat membuka diri.
2. Prospek Pesantren di Masa Depan
Meyakini pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia dalam pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk menjadi pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran, yaitu:
a) Dari segi ajaran agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat ditaati oleh manusia modern dewasa ini, termasuk civitas pesantren. Yaitu untuk meraih keunggulan kehidupan duniawi. Deskripsi ini merujuk kepada sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu” (HR. Ahmad)
b) Dalam perkembangan sejarahnya, pesantren telah cukup memberikan acuan dan dorongan bagi kemajuan ilmu pengetahuan bahkan sosial kemasyarakatan.
c) Pesantren di Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya (madrasah-masrasah yang dikembangkannya). Lembaga yang dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tidak ternilai harganya. Untuk itu, kiranya lembaga-lembaga di pesantren harus semakin menyadari akan posisinya dalam upaya membuat satu komitmen strategi, yaitu menjadikan dirinya sebagai “Bank” sumber daya manusia itu.
Disamping itu di era globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun sosiologi pendidikan, maka pesantren di Indonesia menjadi sub sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik pesantren menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas pesantren agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman klasik.
3. Menatap Masa Depan Pesanten
Jika membandingkan pesantren dengan sekolah umum pada saat sekarang ini, maka, lembaga pendidikan yang dikelola para kyai ini justru memiliki berbagai kelebihan yang justru terkait dengan esensi pendidikan itu sendiri. Kelebihan pendidikan pesantren, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Pesantren memiliki kemandirian dan otonomi secara penuh, (2) Memiliki semangat juang dan berkorban yang tinggi dari semua yang terlibat di dalamnya. Komersialisasi pendidikan yang berujung terjadi runtuhnya nilai-nilai pendidikan tidak terjadi di lingkungan pesantren. Pesantren dibangun dan dikelola atas dasar keikhlasan dan diniatkan sebagai ibadah, (3) Pendidikan pesantren dijalankan secara lebih komprehensif atau utuh, meliputi pendidikan akhlak, spiritual, ilmu pengetahuan, dan juga ketrampilan; (4) Pendidikan di pesantren dijalankan tidak saja sebatas mentrasfer ilmu pengetahuan, apalagi hanya sebatas informasi, lebih dari itu adalah menstranfer kepribadian. Para Kyai secara langsung memberikan tauladan dan juga membiasakan hal-hal yang baik, sehingga ditiru oleh para santrinya; (5) Pendidikan pesantren tidak mengejar simbul-simbul, seperti sertifikat atau ijazah, melainkan untuk membangun watak atau akhlak yang mulia, (6) dan lain-lain.
Di balik kelebihan-kelebihannya itu, pesantren di sana sini masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk diselesaikan. Beberapa pekerjaan rumah itu misalnya, bahwa masyarakat semakin menghendaki agar bisa bekerja secara efektif dan efisien. Keinginan itu memerlukan cara baru untuk memenuhinya. Dulu misalnya orang sabar belajar Bahasa Arab berlama-lama di pesantren. Berbeda dengan itu, pada saat ini ditemukan metode belajar lebih singkat tetapi hasilnya lebih baik. Juga menghafal al Qurán, dulu memerlukan waktu lama. Akhir-akhir ini mulai ditemukan metode menghafal al Qurán dengan waktu yang lebih pendek.
Tantangan lainnya di zaman yang semakin mengglobal ini, komunikasi semakin tidak terbatas. Informasi bisa tersebar dan dapat diperoleh secara cepat. Pengaruhnya hal itu luar biasa terhadap semua kehidupan, termasuk terhadap kehidupan pesantren. Atas dasar komunikasi dan informasi orang akan memilih apa saja yang memberikan layanan lebih cepat, lebih berkualitas, dan lebih menguntungkan.
Selain itu, ternyata sementara alumni pesantren, dalammenenuhi kebutuhan hidup, tidak terlalu memiliki pilihan lapangan kerja. Adanya alumni pesantren mendapatkan pekerjaan yang kurang sesuai dengan ‘pendidikan pesantren’ juga memerlukan antisipasi yang tepat.
Selain itu, problem pendidikan pesantren, tatkala harus menyesuaikan dengan tuntutan modern adalah terkait dengan pendanaan. Pesantren selalu dikelola secara mandiri, dan bahkan pendanaannya bersumber dari sumbangan masyarakat, yang besarnya tidak menentu dan bahkan kadang juga berasal dari pribadi Kyainya. Beban itu, kadangkala dirasakan semakin berat, tatkala Kyai harus menampung para santri ekonomi lemah dan bahkan juga anak yatim. Kepada santri seperti itu, Kyai bukan saja tidak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari santri, bahkan sebaliknya. Pesantren harus memenuhi kebutuhan hidup santri yang demikian banyak sehari-hari.
Akhir-akhir ini pendidikan pesantren semakin diminati. Banyak orang menyebut pendidikan pesantren memiliki kelebihan tertentu. Pendekatan pendidikan yang tidak mengedepankan peraturan, dan sebaliknya lebih memberi warna culturalnya, selain itu dalam hal-hal tertentu, justru menunjukkan hasilnya yang lebih baik. Kelebihan pendidikan pesantren terutama dalam pengembangan karakter, perilaku, atau akhlaknya.
Sedangkan aspek yang selama ini masih dianggap kurang, hanyalah terkait dengan pendidikan sains dan teknologi. Jika kelemahan itu bisa dilengkapi, insya Allah pesantren berhasil menampakkan diri sebagai lembaga pendidikan yang lebih sempurna.
Atas dasar kelebihan pendidikan pesantren seperti itu, semestinya pemerintah segera memberikan apresiasi yang cukup. Perhatian pada pesantren tidak hanya pada momen tertentu, semisal tatkala menghadapi pemilu, tetapi juga setiap saat pesantren membutuhkannya.
Kyai sesungguhnya tidak berharap banyak bantuan dari manapun, karena bagi Kyai, menyelenggarakan pendidikan dipandang sebagai ibadah, dalam rangka memenuhi tuntutan agamanya. Sekalipun tidak disiapkan dana oleh pemerintah, Kyai tetap menyelenggarakan pendidikan dengan penuh kesabaran, ikhlas, amanah, dan istiqomah.
Hal penting yang diharapkan oleh sementara pesantren, adalah pengakuan dan tidak dipertsulit tatkala mau mengembangkan diri. Pesantren ingin mempertahankan kemandiriannya dan tidak berharap bantuan dan balasan dari siapapun, kecuali hanya ingin mendapatkan ridha dari Allah swt.
Komentar
Posting Komentar