Tiga santri Pondok Pesantren Nurul Haramain
Narmada Lombok Barat saat waktu senggang (Dok.pribadi)
|
Tahun ajaran baru telah tiba. Para orang tua
sedang sibuk mempersiapkan segala macam perlengkapan baru anak-anak mereka yang
akan masuk di kelas baru yang lebih tinggi. Tas baru. Sepatu baru. Buku tulis
baru. Tidak hanya itu. Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah
swasta, juga bersiap membayar biaya daftar ulang. Daftar ulang biasa terdiri
dari yang paling banyak untuk pembangunan fisik sekolah, lalu disusul biaya
fasilitas lainnya.
Faktanya, pendidikan juga tidak bisa lepas
dari konteks persaingan yang kian sengit. Dengan kian menjamurnya lembaga
pendidikan, masing masing tempat belajar mau tidak mau harus bisa menawarkan
"menu" yang menarik calon pelajar. Di banyak contoh, bahkan sekolah
negeri bisa kalah peminat oleh sekolah swasta, sekolah non pemerintah.
Karena persaingan, masing-masing lembaga
pendidikan "menjual" program unggulan masing-masing. Ada yang mengunggulkan
program hafalan kitab suci, ada yang menekankan penguasaan kitab kuning, ada
yang concern di
skil bahasa asing, pelajaran leadership,dan lain-lainnya.
Pada titik tertentu, persaingan menimbulkan
pergeseran semangat kehadiran lembaga pendidikan itu sendiri. Sebagai seorang
alumni pondok pesantren, fokus saya adalah pergeseran semangat kehadiran pondok
pesantren dalam konteks persaingan yang saya singgung di atas. Meski tidak
semuanya, pondok pesantren ikut larut dalam gerak industrialisasi pendidikan.
Program-program unggulan yang dijanjikan
mensyaratkan biaya yang tidak murah, baik itu untuk memastikan ketersediaan
sumber daya berkualitas (guru, pembina, dll) maupun untuk fasilitas berupa
gedung yang nyaman dan layak. Masyarakat pada akhirnya menganggap ini sesuatu
yang wajar. Seperti dagangan, mereka menganggap adalah wajar jika semakin bagus
barang dagangan, maka harga barang itu semakin mahal.
Kata mereka, tidak apa biaya besar, yang
penting anak bisa belajar dengan baik dan nyaman. Ketimbang memasukkan anak ke
sekolah negeri yang walaupun dikelola oleh negara namun programnya
begitu-begitu saja. Poin utamanya: biaya menjadi tidak dipermasalahkan. Harga
sebanding dengan kualitas. Kira-kira demikian.
Saya tidak pada posisi sinis dengan kondisi ini.
Tapi pertanyaannya mengapa ada pergeseran yang sangat jauh dalam semangat
pendidikan kita? Mengapa lama-lama banyak pondok pesantren berlomba menuju
kemewahan fasilitas layaknya lembaga pendidikan yang tidak khas? Ada lembaga
pendidikan agama di luar daerah fasilitasnya luar biasa.
Tempat tidur siswa top. Lembaga juga
memfasilitasi santri dengan fasilitas mesin londre untuk pakaian mereka yang
kotor. Santri makan dengan menu lauk yang sehat dan bergizi. Sudah pasti untuk
memenuhi "kemewahan" fasilitas itu, ada biaya besar yang harus
dikeluarkan oleh wali. Tidak apa-apa. Yang penting anak-anak bisa tenang
menghafal. Yang penting badan dan otak mereka tetap sehat dan ceria layaknya
mereka berada di rumah.
Saya teringat sewaktu nyantri dulu. Sewaktu masuk, pertama-tama saya
membayangkan tempat tidur yang nyaman. Satu kamar diisi oleh satu sampai dua
orang saja. Ada ranjangnya juga. Bayangan ini meleset. Yang ada hanya ruangan
kecil di mana lemari pakaian bejejer lalu pemiliknya tidur di depan lemari
masing-masing tanpa ranjang. Satu kamar ada kurang lebih 8 sampai 10 orang.
Dalam perjalanannya, satu saklar lampu sering
menjadi masalah. Ada yang ingin tidur cepat
dan karena itu lampu mesti dimatikan karena jam 3 dini hari harus sudah bangun
tahajjud dan ngaji kitab. Ada yang belum ngantuk dan masih asyik ngobrolin
pacar atau yang lain. Sering ada ketegangan.
Saya juga membayangkan ada tempat mandi yang
bagus. Ada jejeran kamar mandi di dalamnya lengkap ada kloset. Bayangan ini
juga salah. Tiap pagi dan sore kita bergerak menuju kali dekat madrasah. Buka
baju, lepas sarung, lalu nyebur seenaknya. Ada yang jahil.
Di bagian hulu mengirim "paket"
kuning seenaknya, di belakang anak-anak seperti prajurit yang khusus
membersihkan ranjau musuh, lalu setelah itu menyelam. Dulu airnya bening. Tidak
tau sekarang. Mungkin keruh. Atau mungkin tidak mengalir lagi airnya karena
penebangan pohon di hulu.
Soal makan, ada pembagian "kelas".
Ada yang memilih membayar di sekolah. Mereka tinggal makan teratur, pagi,
siang, dan sore/petang. Ada yang memilih masak sendiri. Dapur tempat
kompor-kompor bersumbu telah disiapkan. Tidak ada yang menaruh lemari lauk di
sini. Toples sambel tidak aman. Lebih baik ditaruh di lemari pakaian. Baju bau
sambel tidak apa. Yang penting sambel aman.
Pesan apa yang ingin saya sampaikan dari
sepotong suasana di atas? Pertama, anggap saja saya sedang ikut mengampanyekan
"ayo mondok di pesantren" untuk bapak ibu yang saat ini masih bingung
ke mana hendak menyekolahkan anaknya setelah tamat di jenjang pendidikan
sebelumnya. Saya akan sampaikan kelebihan orang mondok tentu berdasarkan
pengalaman saya.
Misalnya. Mondok adalah sarana
tempat belajar tentang survivedengan kejutan-kejutan hidup yang
tidak menentu. Tentang sandal yang
tiba-tiba hilang. Tentang penyakit gatal-gatal di tangan dan selangkangan.
Mondok adalah sarana melatih daya manajerial. Misalnya, kiriman beras dalam
satuan kilo harus pas tersedia hingga sekian minggu sampai tiba jadwal
kunjungan orang tua untuk membawakan bekal beras lagi. Jika terlalu boros, atau
malah nekat menjual beras untuk beli rokok, tentu itu tidak baik. Hehehe.
Kesederhanaan lah yang menjadi ruh pesantren.
Bukan kemewahan fasilitas layaknya hotel. Bukan kemegahan gedung dan lain-lain.
Ada orang tua yang langsung protes begitu mengetahui fasilitas tempat mandi
anaknya jauh dari kata layak.
Akan semakin parah kalau di ujungnya dia
mempertanyakan iuran besar yang dia keluarkan setiap bulan untuk membayar
fasilitas yang diinginkannya itu. Di sini berlakulah ikatan jual beli semata.
Wali siswa sebagai pembeli, pihak sekolah sebagai pedagang. Semangat luhur
berupa proses transfer nilai dan akhlak mulia yang menjadi ruh pendidikan
menjadi hilang. Kesederhanaan sudah tidak ada.
Dulu, sewaktu nyantri, kita sering dikisahkan
tentang tokoh-tokoh besar yang menuntut ilmu lewat jalan terjal.
Bersakit-sakit. Hari-hari mereka adalah hari-hari yang sakit. Hasilnya mereka
menjadi orang-orang besar yang dikenang sejarah lewat karya dan kualitas personal
mereka. Ternyata, kisah-kisah yang disampaikan para guru itu bermuara pada satu
titik : mereka ingin murid-murid mereka kelak menjadi manusia tahan
banting.
Kekah tegeng dalam tiap musik dan cuaca. Santri
adalah mereka yang hidupnya kuat dan tahan banting untuk kesulitan macam
apapun. Mereka akan bisa melewatinya dengan baik. Karakter macam ini tentu saja
tidak bisa dibangun oleh suasana sekolah yang selalu bikin ngantuk karena
saking nyamannya. Karakter macam ini hanya bisa terwujud di lembaga pendidikan
yang menanamkan nilai natural dan sederhana dalam proses belajar mengajarnya.
Akhirnya, beruntunglah pesantren yang masih mempertahankan
warisan besar ini. Salam.
Komentar
Posting Komentar